Senin, 19 Desember 2016
Kamis, 15 Desember 2016
Tradisi Manaqiban
Salah satu acara ritual yang menjadi tradisi sebagian
masyarakat adalah manaqiban. Selain memiliki aspek seremonial, manaqiban juga
memiliki aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata ‘manaqib’
(bahasa Arab), yang berarti biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’
(bahasa Indonesia) menjadi manaqiban yang berarti kegiatan pembacaan manaqib
(biografi) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, seorang wali yang sangat legendaris
di Indonesia.
Kalau dilihat secara ilmiah kitab manaqib itu memang
tidak istimewa. Tetapi tampaknya dalam kehidupan para penganut tarekat,
manaqiban merupakan kegiatan ritual yang tidak kalah sakralnya dengan ritual-ritual
lain. Bahkan manaqiban ini dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat dan santri
pedesaan di Pulau Jawa dan Madura.
Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi silsilah
nasab Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan
karomah-karomahnya, di samping itu tercantum juga doa-doa bersajak (nadham)
yang bermuatan pujian dan tawassul (berdoa kepada Alloh Subhanahu
wa Ta’ala melalui perantaraan ) Syaikh ‘Abdul Qodir.
Harapan para pengamal manaqib untuk mendapat
keberkahan dari pembacaan manaqib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa
Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani adalah quthb al-’auliya (wali quthub)
yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang.
Hal ini dapat dipahami dari sya’ir berikut:
عِبَادَ اللهِ رِجَالَ
اللهْ أَغِيْثُـوْنَا لأَجْـلِ اللهْ
وَكُوْنُوْا
عَوْننَاَ لِلَّهْ عَسَى نَحْظَى بِفَضْلِ
اللهْ
عَلَى اْلكَافِيْ صَلاَةُ اللهْ عَلَى الشَّافِيْ
سَلاَمُ اللهْ
بِمُحْيِ الدِّيْنِ خَلِّصْنَا
مِنَ اْلبَلْــوَاءِ يَا اَللهْ
وَيَا أَقْطَابْ وَيَا أَنْجَابْ وَيَا سَادَاتْ وَيَا
أَحْبَابْ
وَأَنْتُمْ يَاأُولِي اْلأَلْبَابْ
تَعَالَوْا وَانْصُرُوْا لِلَّهْ
سَأَلْنَاكُمْ
سَأَلْنَاكُمْ
وَلِلزُّلْفَى رَجَوْنَاكُمْ
وَفِيْ أَمْرٍ
قَصَدْنَاكُمْ فَشُدُّوْا عَزْمَكُمْ للهْ
Artinya:
“Wahai para
hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…
tolonglah kami karena Alloh.
Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu
wa Ta’ala …
semoga kami berhasil meraih karunia Alloh.
Shalawat Alloh semoga terlimpah atas al-Kafi
(yang mencukupi yakni Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam ), dan
semoga keselamatan dari Alloh terlimpah atas asy-Syafi (yang
menyembuhkan yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam).
Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul
Qodir)…
lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah wahai
Alloh…
Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang
baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna…
kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.
Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada
kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami
mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada
kalian…
maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami)
karena Alloh.”
Tetapi dari sekian banyak muatan mistis dan legenda
tentang Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, yang paling dianggap istimewa dan
diyakini memiliki berkah besar dalam upacara manaqiban adalah karena dalam
kitab manaqib terdapat silsilah nasab Syaikh. Dengan membaca silsilah nasab ini
seseorang akan mendapat berkah yang sangat banyak.
Secara umum diterimanya ritual manaqiban ini oleh para
Kiai di Indonesia dan di Jawa khususnya, karena di dalam manaqib disebut-sebut
nama para nabi dan orang-orang sholih, khususnya pribadi Syaikh sendiri. Hal tersebut
diyakini sebagai suatu amal sholih (kebaikan), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam:
ذِكْرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنَ اْلعِبَادَةِ وَذِكْرُ
الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ اْلقَبْرِ
يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ .
“Mengingat para Nabi adalah ibadah,
mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat
kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke
surga.” (HR.
ad-Dailami).
Disamping karena motifasi kafarat (penghapusan
dosa) tersebut, kebanyakan masyarakat pengamal manaqib pun meyakini bahwa
ritual manaqiban mendatangkan banyak manfaat seperti kesuksesan usaha,
terkabulnya doa, dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan
masing-masing.
Pelaksanaan manaqiban di dalam masyarakat biasanya
diadakan dalam rangka selamatan, tasyakuran dan kegiatan-kegiatan penting
lainnya.
Para pengamal manaqiban meyakini bahwa ritual ini
adalah suatu wasilah (syari’at) agar hajatnya tercapai dan terkabul. Di saat
pembacaan manaqib sebagian jamaah menghadirkan botol-botol berisi air yang
diletakkan di depan guru dengan keyakinan bahwa air yang telah dibacai manaqib
tersebut akan membawa keberkahan.
BEBERAPA CATATAN PENTING DALAM RITUAL MANAQIB
Di dalam ritual manaqiban ini terdapat beberapa
kemungkaran yang membuatnya bukan termasuk amal sholih apalagi diyakini bisa
membawa keberkahan. Kemungkaran-kemungkaran tersebut di antaranya ialah:
- Ber-istighatsah kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani dan para wali dalam memohon pertolongan dan dilepaskan dari kesulitan. Dengan kata lain meminta dan berdoa kepada Syaikh.
Hal itu terlihat jelas dalam bait-bait berikut:
“Wahai para hamba Alloh dan
tokoh-tokohnya Alloh…
tolonglah kami karena Alloh.
Jadilah tuan semua penolong kami
karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala…
semoga kami berhasil meraih maksud
dengan keutamaan Alloh.
Wahai para wali quthub, wahai
orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian wahai orang-orang yang berakal
sempurna,
kemarilah dan tolonglah kami karena
Alloh.
Kami meminta kepada kalian, kami
meminta kepada kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi
Alloh ) kami mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami
menghadapkan diri kepada kalian,
maka kencangkanlah tekad kalian
(untuk menolong kami) karena Alloh.”
Padahal berdoa dan istighatsah adalah hak Alloh semata
dan hanya boleh ditujukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Berdoa
termasuk salah satu ibadah, dan ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada Alloh Subhanahu
wa Ta’ala semata. Tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya. Bukankah
seorang Muslim dalam setiap shalatnya berikrar di hadapan Alloh Subhanahu wa
Ta’ala:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah
dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah [1]: 5).
Lantas mengapa di luar shalat ia meminta kepada selain
Alloh Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah ini suatu pelanggaran atas ikrar
tersebut?
Sesungguhnya menyeru kepada selain Alloh adalah suatu
kezhaliman yang besar. Alloh berfirman:
“Dan janganlah kamu memohon kepada kepada sesuatu
yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu
selain Alloh; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya
kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Yunus [10]: 106).
Sebenarnya orang-orang yang telah meninggal itu tidak
tahu menahu dan tidak sadar bahwa ada sebagian orang yang memohon kepadanya.
Oleh karena itu, memohon kepada para wali quthub yang telah wafat adalah bukti
akan kelemahan akal pelakunya. Ia berpaling dari Dzat Yang Maha Mendengar lagi
Mengabulkan doa lalu meminta kepada seorang hamba yang tidak mendengar doa
orang-orang yang meminta kepadanya. Adakah kelemahan akal yang lebih parah dari
ini? Perhatikanlah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut:
“Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang berdoa kepada sesembahan-sesembahan selain Alloh yang
tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari
(memperhatikan) doa mereka. “ (QS. Al-Ahqaaf [46]: 5).
Tawassul kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala
dengan seorang sholih yang telah meninggal dalam artian menjadikan seseorang
sebagai perantara dalam doanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah
suatu kesyirikan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Ia bukanlah
tawassul meskipun para pengamalnya menamakan itu sebagai tawassul. Renungkanlah
peringatan Alloh berikut ini:
“Barangsiapa yang memohon di samping
Alloh sesembahan yang lain padahal tidak ada hujjah baginya, maka sesungguhnya
perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan
beruntung.” (QS.
al-Mukminun [23]: 117)
“Dan orang-orang yang kalian mohon
selain Alloh mereka tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika
kalian menyeru mereka, maka mereka tiada mendengar seruan kalian; dan kalaupun
mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kalian. Dan di
hari kiamat kelak mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang
dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Dzat Yang
Maha Mengetahui.” (QS. Fathir [35]: 13-14).
AllohSubhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat
ini, bahwa hanya Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu,
bukan selain-Nya. Dan bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar doa,
apalagi untuk mengabulkan doa tersebut. Kalaupun seandainya mereka dapat mendengar,
maka mereka tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki
kemampuan untuk memberi manfaat atau menolak mudharat.
Jika di dalam ritual manaqiban tersebut tidak terdapat
kemungkaran selain ini, yaitu ber-istighotsah dan berdoa kepada selain Alloh,
niscaya ini sudah cukup menjadi alasan yang sangat kuat untuk meninggalkan
tradisi ini. Karena, kesyirikan adalah suatu kemungkaran terbesar dan
kezhaliman terberat. Semua dosa masih mungkin diampuni oleh Alloh Subhanahu
wa Ta’ala selain syirik. Sedangkan syirik, jika pelakunya tidak bertaubat
sampai meninggalnya, maka surga diharamkan baginya. Renungkanlah firman Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berikut ini:
“Sesungguhnya barangsiapa yang
mempersekutu-kan Alloh, maka sungguh Alloh mengharamkan baginya surga dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun.” (QS.
al-Ma’idah [5]: 72)
- Adanya ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam menyanjung dan memposisikan Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani. Ini bisa dilihat jelas oleh siapapun yang membaca dan memahami kitab manaqib.
- Hukum mengadakan ritual dan peringatan semacam manaqiban ini tidak berbeda dengan hukum memperingati maulid NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu terlarang. Karena, hal ini termasuk menambahkan sesuatu yang baru dalam agama. Sedangkan hal ini dilarang keras dalam syariat Alloh dan Rasul-Nya.
- Bertawassul dengan kedudukan atau kemuliaan Syaikh dalam berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun ini bukan termasuk syirik akan tetapi ia adalah suatu bid’ah dan sarana menuju kesyirikan. Tawassul tersebut di antaranya pada bait berikut:
“Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni
Syaikh ‘Abdul Qodir)… lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah ya Alloh…”
Catatan penting:
- Jika ada yang berkata, “Kami meminta kepada mereka adalah agar mereka berdoa kepada Alloh untuk kami. Sebenarnya kami tidaklah meminta kepada mereka, akan tetapi meminta supaya mereka mendoakan kami.”
Jawabannya: Hal ini adalah kesesatan dan kebodohan,
karena mayit-mayit itu tidaklah mampu memperkenankan permintaan kalian, artinya
mereka tidaklah mampu berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar
mengabulkan permintaan kalian, karena manusia itu apabila telah meninggal maka
terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, sebagaimana yang
diriwayatkan dalam Shahih Muslim:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ
مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
Dari Abu Huroiroh Radiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
seorang manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Maka mereka tidak memiliki amal sama sekali setelah
meninggal dan tidak pula bisa berdoa untuk mereka setelah meninggal, dan mereka
tidak dapat mengabulkan doa bagi seorang pun.
- Jika ada yang berkata, “Bukankah ‘Umar Radiyallahu ‘anhu pernah bertawassul dengan Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu pada saat terjadinya kemarau panjang dan ia berkata, ’Ya Alloh dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami.’?”
Jawabannya: Dalam shahih Bukhori terdapat hadits,
“Dari Anas bin Malik, bahwasanya ‘Umar bin Khaththab Radiyallahu ‘anhujika
terjadi kekeringan, maka beliau berdoa agar diturunkan hujan dengan bertawassul
melalui perantaraan Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. ‘Umar berkata, ’Ya Alloh,
dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada
kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR. al-Bukhori).
Maksud bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam atsar di atas bukanlah “Bertawassul dengan memohon kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi maksudnya adalah
bertawassul dengan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni mereka
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memohon
kepada beliau agar berdoa kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala untuk mereka.
Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat,
para sahabat tidak bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
-yaitu ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu– yang saat itu
masih hidup.
- Manakah yang lebih mulia dan utama, para wali ataukah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentulah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian halnya, adakah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meminta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya agar beliau berdoa untuk mereka? Para shahabat Radiyallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai dan memuliakan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka mengetahui bahwa tawassul dengan orang yang sudah mati dan memohon kepadanya termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam.
- Jika ada yang berkata, “Kami pernah mempunyai suatu hajat, lalu kami melakukan manaqiban, maka alhamdulillah hajat kami dikabulkan oleh Alloh. Bukankah ini suatu bukti bahwa manaqiban adalah suatu wasilah yang diterima oleh Alloh?
Jawabannya: Yang harus kita ketahui, jika Alloh Subhanahu
wa Ta’ala mengabulkan hajat seseorang setelah ia melakukan manaqiban, maka
itu bukanlah karena manaqiban tersebut akan tetapi sebenarnya Alloh menguji
orang tersebut dengan suatu perkara yang Dia haramkan. Dengan kata lain ini
adalah suatu istidroj dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Istidroj
artinya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menarik hamba-Nya kepada
kebinasaan secara berangsur-angsur dan dengan cara yang tidak ia sadari. Ujian
dalam bentuk memudahkan kemaksiatan adalah suatu perkara yang terjadi pada
umat-umat terdahulu dan juga pada umat ini. Sebagai contohnya ialah apa yang
terjadi pada umat Nabi Dawud . Alloh berfirman:
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil
tentang penduduk negeri yang terletak di dekat laut, ketika mereka melanggar
larangan Alloh pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang
berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan laut, dan di hari-hari
yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami
menguji mereka disebabkan kefasikan mereka.” (QS. al-A‘roof [7]: 163).
- Bagaimana dengan hadits yang dijadikan dalil oleh para pengamal manaqib? Yaitu hadits yang berbunyi:
ذِكْرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنَ اْلعِبَادَةِ وَذِكْرُ
الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ اْلقَبْرِ
يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ .
“Mengingat para Nabi adalah ibadah,
mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat
kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke
surga.” (HR.
ad-Dailami).
Jawabannya: Hadits tersebut dinilai maudhu’
(palsu) oleh para ulama hadits karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang
bernama Ibnu al-Asy’ats. Dia ini dituduh pendusta oleh para ulama hadits.
SEKILAS TENTANG SYAIKH ‘ABDUL QODIR
AL-JAILANI
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir
al-Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan… wafat pada hari Sabtu
malam, ba’da Maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul
Azaj. Beliau meninggalkan tanah kelahiran, merantau ke Baghdad pada saat beliau
masih muda. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu
Aqil, Abu al-Khatthat, Abu al-Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al
Mukharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Untuk menelusuri aqidah Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jailani
Rahimahullah kita mesti membaca kitab al-Ghunyah li Thoolibi Thoriiq
al-Haq, sebuah kitab yang ditulis oleh beliau sendiri.
Dari kitab tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas
bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-JailaniRahimahullah adalah seorang
ulama Ahlus Sunnah.
Yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah
adalah orang-orang yang benar dalam aqidah dan peribadatannya. Bukan seperti
yang dipahami oleh sebagian orang bahwa Ahlus Sunnah adalah nama untuk golongan
atau jam’iyyah tertentu seperti NU misalnya. Tetapi Ahlus Sunnah adalah
semua kaum muslimin yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta
mengikuti cara beragama para sahabat Radiyallahu ‘anhum.
Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah
sendiri pernah mengatakan bahwa dalam hal pokok-pokok agama maupun
cabang-cabangnya, beliau mengikuti manhaj (metode beragama) para
imam Ahlus Sunnah. Akan tetapi sebagian orang berlebih-lebihan dan ghuluw
dalam menyanjung dan mengagungkan Syaikh sehingga mengarang-ngarang kisah-kisah
karomah Syaikh.
Ibnu Rajab Rahimahullah juga berkata, “Syaikh
‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah adalah seorang yang diagungkan pada
masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud.
Beliau memiliki banyak keutamaan dan karomah. Tetapi ada seorang yang bernama
Abu Hasan Syathnufi mengumpulkan kisah-kisah keutamaan (manaqib) Syaikh
‘Abdul Qodir al-Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis
perkara-perkara yang aneh. Dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika
dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini
dan hatiku tidak tentram untuk mempercayainya. Oleh karena itu, aku tidak mau
meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan
terkenal dari selain kitab ini. Kitab ini banyak menukil riwayat dari
orang-orang yang tidak dikenal (majhul). Juga terdapat perkara-perkara
yang sulit diterima, kesesatan-kesesatan, klaim-klaim dan perkataan batil yang
banyak. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abdul Qodir
al-Jailani Rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa al-Kamal Ja’far
al-Adfawi telah menyebutkan bahwa Syathnufi sendiri tertuduh berdusta dalam
kisah-kisah yang diriwayatkannya pada kitab ini.”
‘Ali bin Idris, seorang murid Syaikh pernah bertanya
kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah, “Wahai tuanku,
apakah Alloh memiliki wali yang tidak berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.” (Admin-syaikh)
.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.
Rajanya para wali Syaikh Abdul Qodir Jailani.
Rajanya
para wali Syaikh Abdul Qodir Jailani. Siapakah dari kaum muslimin saat ini yang tidak mengenal sosok
ulama besar Syaikh Abdul Qodir Jaelani?
Nama yang sudah
mashur dan dikenal oleh para santri di pondok-pondok pesantren, bahkan dari
kalangan masyarakat awampun sosok dan nama Syaikh Abdul Qodir Jailani sudah
tidak asing lagi di telinga mereka.
Kemasyhuran nama
beliau ini disebabkan karena keutamaan dan jasa-jasa beliau terhadap umat dalam
menyebarkan dan membela aqidah ahlus sunnah wal jama’ah (hal ini bisa dilihat
dalam kitabnya yang terkenal “Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq”, bahkan beliau
pun telah membantah dengan tegas terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah).
Sehingga tidaklah
mengherankan jika nama Syaikh Abdul Qodir Jailani disanjung
dan dicintai oleh kaum muslimin, sampai saat sekarang ini. Beliau adalah
seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan salafush shalih, lahir
di Baghdad pada tahun 470H, tepatnya di kota Jailan, karenanya di akhir nama
beliau ditambahkan kata al Jailani. Allah telah memberikan keberkahan dan
karomah kepadanya karena keimanan dan ketakwaannya. Hanya saja sebagian dari
kaum muslimin yang ghuluw (berlebih-lebih) dalam mengagungkan Syaikh
Abdul Qodir Jailani telah membuat kedustaan-kedustaan atas nama
beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan yang menyelisihi ajaran Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagaimana
kedustaan-kedustaan atas nama Syaikh Abdul Qodir Jailani ini
telah tersebar di Indonesia yang dikemas dalam suatu acara atau budaya ritual
yang dikenal dengan nama “manaqiban”.
“Manaqiban” adalah
pembacaan autobiografi (riwayat hidup) Syaikh Abdul Qodir Jailani
untuk mengenang beliau dan mengambil hikmah dari kisah-kisah ritual yang beliau
alami dimasa hidupnya.
Kegiatan ini sudah
menjadi acara tradisi yang dianggap oleh mereka sebagai bentuk jalinan
kecintaan untuk terus-menerus menyambung tali silaturahmi dengan Syaikh
Abdul Qadir al Jailani yang dikenal dikalangan mereka dengan
“shulthonul auliya” (Rajanya para wali).
Banyak sekali
kisah-kisah palsu tentang karomah-karomah Syaikh Abdul Qodir Jailani dalam
manaqiban yang sering mereka baca, diantaranya adalah, kisah Syaikh
Abdul Qodir Jailani menghidupkan ayam yang telah mati, merebut ruh
yang telah dicabut oleh malakul maut di atas langit dan dikembalikan kejasadnya
semula, berdialog dengan kambing dll, semua kisah-kisah dusta tsb mereka
konsumsi mentah-mentah dan diyakini kebenarannya, lebih dari itu mereka
memiliki anggapan bahwa “Syaikh Abdul Qodir Jailani derajatnya
berada di atas Nabi Muhammad shalallohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya
(menurut mereka) bahwa Khidir yang menjadi wali Allah memiliki kedudukan,
wawasan dan ilmu yang lebih tinggi dari pada Musa yang menjadi Rasul Allah.
Sungguh argumen
yang sangat keliru, karena bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang
menyatakan bahwa Muhammad shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin para
nabi dan rasul, manusia yang paling mulya di sisi Allah dari seluruh manusia
dan makhluk lainnya.
Ada juga sebagian
mereka yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai
wasilah (perantara) dalam berdo’a kepada Allah, mereka beranggapan bahwa do’a
seseorang tidak akan dikabulkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala,
kecuali dengan perantaraan Syaikh Abdul Qodir Jailani.
Perbuatan ini merupakan salah satu dari yang membatalkan keislaman seorang
muslim menurut kesepakatan para ulama (ijma’), berdasarkan firman Allah di
dalam al quran,
“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (az zumar:3)
Berikut adalah
kutipan dari ucapan seorang mursyid (pembimbing) di acara manaqiban suryalaya
Tasikmalaya,
“Meskipun
didalam manaqiban terdapat bermacam-macam karomah Syaikh Abdul Qodur Jailani yang berada diluar kebiasaan manusia, kita harus
percaya dan jangan ragu-ragu, karena itulah karomah. Di dalam al-Qur’anpun
bermacam-macam keluarbiasaan dari seorang manusia yang telah dimuliakan oleh
Allah bisa kita baca seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, kisah Siti Maryam dan
lain-lain. Mereka bukanlah Rasul yang diberikan mu’jizat tapi hanya seorang
yang telah dimuliakan oleh Allah dengan karomahnya. Syaikh ‘Abdul Qodir
Jailani mengatakan, barang siapa yang ingin berhubungan denganku, ingin aku
sampaikan kepada Allah permohonanmu, maka ucapkanlah : Bismillaahi, ‘alaa
niyyati sayyidi syekh ‘abdul Qodir Jailani.” (Suatu pendustaan yang mengatas namakan syaikh Abdul Qodir
Jailani).
Sama halnya dengan
orang yang langsung meminta (berdo’a) kepada Syaikh Abdul Qodir Jailani
untuk dihilangkan kesempitan dan dipenuhi segala kebutuhannya. Inipun bentuk
pendholiman kepada Allah Ta’ala, karena doa adalah ibadah sedangkan ibadah itu
tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya untuk Allah Ta’ala. Maka ketika meminta
(berdoa) kepada selain Allah berarti itu adalah syririk dan pendholiman yang
paling agung. Allah berfirman, “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan
hina dina” (Ghafir:60).
Selain itu,
merekapun senang memajang gambar syaikh Abdul Qodir Jailani di
setiap tempat penting/utama, karena mereka meyakini “ada keberkahan dari gambar
tsb”. Benarkah gambar yang mereka pajang itu, asli gambar Syaikh Abdul
Qodir Jailani ataukah rekaan?(Itupun masih tanda tanya).
Rasulullah
shalallohu alaihi wa sallam telah bersikap tegas dalam masalah ini, sebagaimana
diriwiyatkan dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah masuk menuju
saya dan saya menutup bilik dengan tirai tipis bergambar (dalam riwayat lain :
menggantungkan tirai tipis bergambar kuda bersayap…), maka ketika beliau melihatnya,
beliau -shalallohu ‘alaihi wa sallam- merobeknya dan dengan wajah merah padam,
beliau bersabda , “Hai Aisyah, manusia yang paling keras disiksa di Hari
Kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan Allah.” Kata
Aisyah: “Maka kami memotong-motongnya lalu menjadikannya satu atau dua bantal.”
(Bukhori & Muslim).
Dalam riwayat yang
lain dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shalallohu
‘alaihi wa sallam bersabda: “ Malikat tidak masuk rumah
yang didalamnya ada anjing dan gambar” (HR Bukhari &
Muslim, dengan lafadz Muslim).”
Wal hasil, mereka
lebih senang merutinkan membaca “manaqiban” (kisah-kisah
dusta) daripada membaca Al quran (kalam Allah) yang mulya, sesungguhnya syetan
secara perlahan-lahan telah menggiring mereka untuk meninggalkan Al quran dan
sunnah serta menjadikan “manaqiban” sebagai pijakan hidup dan aqidah mereka.
Sungguh realita yang sangat menyedihkan sekali. Nas alulloha
alhidayata wattaufiqo.
Langganan:
Postingan (Atom)